Minggu, 08 Juli 2007

Islam, Solusi Atasi Keterpurukan

QS al-Rum[30]: 41
Rokhmat S. Labib, M.E.I.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS al-Rum[30]: 41).

Kekayaan alam melimpah di Indonesia sungguh melimpah. Hutannya yang amat luas, dipenuhi dengan aneka satwa dan fauna. Tanahnya subur, alamnya indah. Di dalam perut buminya tersimpan berbagai tambang berharga. Kendati begitu, kehidupan sebagian besar warganya jauh dari sejahtera. Kriris tak hanya melanda sektor ekonomi, namun hampir semua sektor kehidupan. Kondisi politiknya carut-marut, pendidikannya terpuruk, moralitasnya bobrok, pertahanannya rapuh, dan kriminalitasnya kian merajalela.

Berbagai upaya sebenarnya telah ditempuh. Pergantian rezim juga sudah dilakukan berkali-kali. Di awal kekuasaanya, semua rezim itu juga selalu menjanjikan perubahan. Namun realisasinya selalu jauh dari kenyataan. Akhir semua rezim itu selalu bernasib sama: gagal! Sementara rakyat tetap menderita, berbagai masalah yang terus menghempas tak pernah tertuntaskan. Bahkan, kian hari nasibnya kian mencemaskan.

Realitas itu tentulah menimbulkan pertanyaan: Mengapa semua itu bisa terjadi? Apa penyebabnya? Apa pula solusinya? Sebenarnya umat Islam kita tak perlu susah mencari jawabannya. Sebab, di dalam al-Quran dan al-Sunnah telah tersedia jawabannya. Firman Allah dalam QS al-Rum [30]: 41 adalah salah satunya.

Kerusakan dan Penyebabnya

Dalam ayat itu Allah Swt berfirman: Dhahara al-fasâd fî al-barr wa al-bahr (telah nampak kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab, kata al-fasâd kebalikan dari al-shalâh (kebaikan). Sehingga, segala sesuatu yang tidak terkagori sebagai kebaikan, dapat dimasukkan ke dalam al-fasâd.

Berkait dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para mufassir pun berusaha mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Wahidi dalam al-Wasîth menyatakan, fasâd adalah kemarau panjang dan lenyapnya berkah. Menurut al-Zamakhsyari dan al-Alusi dalam kitab tafsir mereka, selain dua kondisi itu, fasâd juga berupa minimnya hasil panen dalam pertanian, sedikitnya keuntungan dalam perdagangan, banyaknya kematian pada manusia dan hewan, banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam, kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat, dan banyaknya mudharat.

Jika kita cermati, penjelasan para mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Alusi dalam Rûh al-Ma'ânî dan al-Suyuthi dalam Fath al-Qadîr, huruf al-alif wa al-lâm pada kata al-fasâd itu menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Sehingga kata tersebut memberikan makna umum meliputi semua jenis kerusakan. Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moralitas, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.

Pula kata al-barr dan kata al-bahr. Bentuk ma'rifah pada kedua kata itu memberikan makna umum, yang berarti semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian: telah nampak dengan jelas semua jenis kerusakan di seluruh muka bumi, baik di daratan maupun lautan.

Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada pangkal penyebabnya. Menurut ayat ini, pangkal penyebabnya adalah: bimâ kasabat aydî al-nâs (disebabkan karena perbuatan tangan manusia). Al-Zamaksyari, Ibnu Katsir, al-Alusi, Ibnu Athiyah, al-Nasafi, Abu Hayyan, al-Samarqandi, dan para mufassir lain sepakat, makna kata kasabat aydî al-nâs adalah perbuatan maksiat dan dosa. Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan terhadap ketentuan syariah-Nya. Bahkan, dhahirnya ayat ini menunjukkan, penyebab semua kerusakan di bumi ini dapat dikembalikan kepada kemaksiatan dan kejahatan manusia.
Kenyataan ini juga ditegaskan dalam ayat lain:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS al-Syura [42]: 31).

Dalam bentuk yang spesifik, Nabi saw juga menjelaskan, maraknya zina dan riba bisa menjadi penyebab kehancuran masyarakat. Rasulullah saw bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah(HR al-Thabarani dan al-Hakim).

Oleh karena kekufuran, kemaskiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya kerusakan, tidak jarang dalam al-Quran menyebut semua tindakan itu dengan kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS al-Baqarah [2]: 11 misalnya, dipahami sebagai larangan berlaku kufur, syirik, dan maksiat.

Syariah Sebagai Solusi

Kerusakan yang ditimbulkan akibat tindakan maksiat dan dosa merupakan sunnatullah yang abadi. Allah Swt berfirman: liyudhîqahum ba'dha al-ladzî 'amilû (supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari [akibat] perbuatan mereka). Frasa ini menegaskan, bagi siapa pun yang melakukan kemaksiatan, mereka akan merasakan akibat buruknya. Akibat buruk itu betapa pun dahsyatnya, sesungguhnya baru sebagian. Sebab, kata ba'dha al-ladzî 'amilû menunjukkan, azab yang mereka rasakan saat ini baru sebagian. Azab secara keseluruhan akan ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.

Karena itu, kerusakan yang kasat mata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk bertaubat. Allah Swt: la'allahum yarji'ûna (agar mereka kembali [ke jalan yang benar]). Kata yarji'ûna berarti bertaubat dengan cara meninggalkan kemaksiatan dan perbuatan dosa untuk kembali taat kepada segala ketentuan syariah-Nya.

Frasa penutup ayat ini juga mengisyaratkan, solusi satu-satunya agar kerusakan di muka bumi tidak berkelanjutan adalah kembali kepada syariah-Nya. Karena pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dan dosa, maka untuk menghentikannya pun dengan cara berhenti dari maksiat, selanjutny berjalan sesuai dengan tuntunan syariah. Selama kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa berhenti.

Berhenti dari maksiat dan kembali kepada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika belum total, berarti masih ruang bagi mereka dalam maksiat. Patut ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur totalitas aspek kehidupan manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]: 3). Syariah mengatur seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya; maupun sesamanya. Syariah tak hanya berupa hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak; namun juga sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib diterapkan. Menelantarkan hukum-hukum itu, seluruhnya atau sebagian, termasuk dalam maksiat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Bertolak dari paradigma ayat ini, problema yang mendera negeri dapat diurai. Bahwa semua problema itu sesungguhnya hanya akibat. Pangkal penyebabnya adalah penyimpangan dari syariah. Realitas ini dapat dirunut dengan mudah mulai dari tatanan yang berlaku di negeri ini.
Sekalipun mayoritas berpenduduk muslim, tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri ini adalah sistem sekular. Dalam sistem sekular, Islam direduksi dengan hanya diizinkan mengatur urusan privat, seperti ibadah, makanan, dan akhlak. Sementara dalam urusan sosial, masyarakat, dan negara, syariah Islam tidak boleh campur tangan. Kalaupun diperbolehkan, yang diambil hanya nilai-nilainya, bukan sistemnya. Itu pun baru boleh diambil jika mendapatkan restu dari parlemen.

Sebagai akibat sistem sekular ini, banyak ketentuan syariah yang telantar. Ironisnya, tatanan hukum dari Barat yang kufur justru banyak diadopsi. Maka lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik. Tindakan itu jelas merupakan kemaksiatan. Wajarlah jika realitas ini kemudian melahirkan aneka persoalan.
Sebagaimana ditegaskan dalam ayat ini, hanya ada satu solusinya: mengganti sistem sekular yang kufur dengan sistem Islam yang haq. Jika soslusi itu ditempuh, kerusakan akan lenyap, berganti dengan kehidupan penuh berkah. Allah Swt berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A'raf [7]: 96).
Nyatalah, kegagalan, keterpurukan, dan kebangkrutan negeri ini tak bisa diatasi hanya sekadar mengganti rezimnya, namun juga sistemnya secara total! WaLlâh a'lam bi al-shawâb.

Cegah Bencana: Terapkan Syariah!

QS Saba [34]: 15-16
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.


لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ (17)
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (TQS Saba [34]: 15-17).

Tak henti dihempas bencana. Itulah realita mutakhir Indonesia. Di antara bencana itu ada yang memang murni disebabkan fenomena alam yang telah menjadi sunnatullah. Manusia tak mampu mencegah terjadinya bencana ini. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi korban dan kerusakan; menyegerakan pertolongan terhadap korban; melakukan pemulihan kerusakan, dan semacamnya. Namun sebagian besar bencana di Indonesia disebabkan oleh perilaku buruk dan maksiat manusia. Banjir besar yang melanda di Jakarta dan berbagai daerah lainnya, musibah tanah longsor, kebakaran hutan, dan semacamnya termasuk dalam bencana kedua.

Melihat Indonesia saat ini, mengingatkan kita terhadap bencana yang pernah menimpa kaum Saba’ sebagaimana dikisahkan QS Saba’: 15-17. Kisah tersebut harus dijadikan pelajaran bagi seluruh manusia di dunia, termasuk bangsa Indonesia.

Wajib mensyukuri Nikmat

Dalam ayat itu Allah Swt berfirman: Laqad kâna li Saba’ fî maskanihim âyah (sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda [kekuasaan Tuhan] di tempat kediaman mereka). Menurut al-Syaukani, Saba’ adalah nama sebuah kabilah keturunan Saba’ bin Yasyjab bin Ya’rab bin Qahthan bin Hud. Mereka tinggal di daerah Yaman yang sekarang dikenal dengan Ma’rib. Tak aneh jika menurut sebagian mufassir, Saba’ adalah nama tempat tersebut.

Ayat ini memberitakan, di tempat tinggal mereka itu terdapat âyah. Menurut al-Qurthubi, kata âyah berarti ‘alâmah (tanda) yang menunjukkan kekuasaan Allah, bahwa ada al-Khaliq yang menciptakan mereka. Kendati berbeda redaksionalnya, penjelasan para mufassir lain tak jauh berbeda. Wujud tanda kekuasaan Allah Swt itu disebutkan dalan frasa berikutnya: jannatâni ‘an yamîn wa syimâl (dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri).

Kata jannah dalam ayat ini bermakna bustân (kebun). Menurut al-Zamakhsyari, kata jannatâni bukan berarti hanya ada dua kebun. Di negeri itu terdapat banyak kebun. Hanya saja, ada sejumlah kebun yang berada di sebelah kanan wadi; dan ada pula yang berada di sebelah kiri.
Bagi manusia yang mau menggunakan akalnya, kebun-kebun itu menjadi âyah atau bukti yang jelas akan kekuasan Allah Swt. Seandainya seluruh makhluk bersatu untuk membuat sebatang pohon, mengeluarkan buah darinya, menciptakannya menjadi beraneka jenis, warna, rasa, dan baunya, niscaya mereka tidak akan mampu. Itu semua menunjukkan secara pasti, kebun-kebun itu diciptakan Allah Swt.

Bagi kaum Saba’, kebun-kebun itu bukan sekadar menjadi tanda bagi keberadaan, kekuasaan, dan kemurahan Allah Swt, namun sekaligus juga merupakan anugerah buat mereka. Aneka buah dan pepohonan yang tumbuh di kebun-kebun itu dapat mereka nikmati. Melalui para utusan-Nya, Allah Swt berfirman kepada mereka: Kulû min rizqi Rabbikum wa [i]sykurû lahu (makanlah olehmu dari rezeki dari Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya).

Mereka dipersilakan untuk mengkonsumsi berbagai jenis buah dan makanan di kebun-kebun mereka itu. Mereka juga diingatkan, aneka makanan itu sesungguhnya min rizqi Rabbikum, adalah rezeki dari Tuhan-Mu. Bukan hanya yang ada di kebun, semua benda di muka bumi ini pun adalah ciptaan-Nya. Dialah yang menciptakan bumi ini untuk manusia (QS al-Baqarah [2]: 29). Oleh karena itu, sudah selayaknya mereka bersyukur kepada Allah Swt, Dzat Pemberi rezeki (al-Razzâq).

Menurut al-Asfahani, al-syukr berarti membayangkan dan menampakkan kenikmatan. Kebalikannya adalah al-kufr, yakni melupakan dan menutupi kenikmatan. Sedangkan Dzun Nun al-Mashri Abu Faidh menuturkan, syukur kepada pihak yang kebih atas dengan ketaatan; syukur kepada setara dengan menghargainya, dan syukur kepada pihak yang lebih rendah dengan berbuat baik dan memuliakannya. Dengan demikian bentuk syukur kepada Allah Swt adalah dengan beribadah dan taat kepada-Nya.

Perintah bersyukur itu dikukuhkan dengan peringatan akan nikmat lainnya: Baldat[un] thayyibat[un] wa Rabb[un] Ghafûr ([negerimu] adalah negeri yang baik dan [Tuhanmu] adalah Tuhan Yang Maha Pengampun). Banyak penjelasan para mufassir mengapa negeri kaum Saba’ dinyatakan baldah thayyibah. Menurut Ibnu Abbas, karena tanah yang dihuni kaum Saba’ itu paling gembur dan paling baik. Al-Qurthubi berpendapat, karena banyak buahnya. Ada pula yang menyatakan, karena di negeri itu tidak ada nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan ular. Pendek kata, negeri kaum Saba’ itu memang amat bagus dihuni manusia. Realitas ini tentulah merupakan sebuah kenikmatan yang wajib disyukuri.

Kenikmatan lainnya yang wajib disyukuri adalah sifat Allah Swt yang Ghafûr (Yang Maha Pengampun). Sebagai makhluk yang lemah, manusia tak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Dalam keadaan demikian, ampunan menjadi kebutuhan setiap manusia. Maka, Allah Swt yang Maha Pengampun merupakan nikmat tiada tara. Namun juga harus dicatat, ampunan Allah Swt itu diberikan kepada orang-orang beriman kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya. Walhasil, kenikmatan Allah Swt terhadap kaum Saba’ amat besar.

Akibat Berpaling dari Syariah

Bukti dan tanda kekuasaan Allah Swt yang amat jelas itu seharusnya membuat kaum Saba’ tak ragu mengimani keberadaan dan kemurahan Allah Swt. Demikian pula berbagai kenikmatan yang dianugerahkan Allah Swt, semestinya membuat mereka mudah bersyukur kepada-Nya. Namun yang terjadi justru sebaliknya: fa a’radhû (mereka justru berpaling). Mereka menolak untuk beriman, beribadah, dan bersyukur kepada-Nya. Mereka ingkar kepada Allah Swt, tidak mau mengikuti petunjuk-Nya, dan tidak taat terhadap perintah dan larangan-Nya

Karena membangkang dari perintah-Nya dan berpaling dari syariah-Nya, Allah Swt pun mendatangkan bencana terhadap mereka: fa arsalnâ ‘alayhim sayl al-‘arim (maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar). Banjir itu pun mengakibatkan bencana lanjutan. Allah Swt berfirman: wa baddalnâhum bijannatayhim jannatayn dzawatay ukul[in] khamth[in] wa atsl[in] wa syay’[in] min shidr[in] qalîl[in] (Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi [pohon-pohon] yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr).

Artinya, setelah banjir besar melanda negeri mereka, negeri mereka pun berubah. Tak lagi tergolong baldah thayyibah. Sebab, kebun-kebun mereka tak lagi dipenuhi dengan aneka tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka. Kebun-kebun mereka hanya ditumbuhi pepohonan yang tidak dapat mereka konsumsi. Pohon atsl adalah sejenis pohon cemara. Pohon sidr adalah sejenis pohon bidara

Itu semua disebabkan karena kekufuran mereka. Dalam ayat berikutnya Allah Swt berfirman:
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir (QS al-A'raf [7]: 96)

Seandainya mereka mau bersyukur kepada-Nya, niscaya kejadian itu tidak akan menimpa mereka. Sebaliknya, mereka justru mendapat tambahan nikmat karenanya. Allah Swt berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (TQS Ibrahim [14]: 7).

Perlu Perubahan Mendasar

Meskipun tidak sama persis, ada beberapa titik persamaan antara negeri Saba dengan negeri Indonesia. Sebagaimana negeri kaum Saba’, negeri Indonesia juga tergolong baldah thayyibah. Tanahnya subur-gembur ditumbuhi aneka tanaman yang bermanfaat. Lautnya luas, di daratannya banyak sungai mengalir. Hutannya juga amat luas. Di dalam perutnya tersimpan berbagai tambang berharga. Pendek kata, kekayaan alamnya melimpah.

Namun, sebagaimana kaum negeri Saba’, kenikmatan besar itu masih belum menggerakkan penghuninya untuk bersyukur kepada Allah Swt. Secara idividual memang banyak orang mengaku beriman dan melaksanakan syariah-Nya. Namun secara komunal, ideologi sekular yang dijadikan sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara adalah, bukan aqidah Islam. Hukum yang berlaku juga hukum sekular, bukan hukum Allah Swt atau syariah. Lebih mengerikan, syariah yang membawa rahmat bagi alam semesta itu acapkali dicurigai, ditakuti, dan dilecehkan; pejuangnya pun dijuluki ekstrimis atau teroris..

Maka, wajar jika aneka bencana, musibah, dan krisis terus datang. Bahkan, tidak jarang bencana yang datang itu muasalnya adalah nikmat. Hujan adalah rahmat bagi kehidupan, namun kedatangannya justru menimbulkan bencana memilukan: banjir dan tanah longsor. Hutan yang merupakan kenikmatan besar, menhasilkan asap dan kabut yang amat mengganggu berbagai wilayah. Tambang gas alam di Sidoarjo, ketika digali yang keluar justru lumpur panas.

Walhasil, jika tak ingin bencana, musibah, krisis terus datang melanda, perubahan mendasar dan total di negeri ini harus dilakukan. Ideologi dan hukum sekular yang berlaku harus dicampakkan. Sebagai gantinya, aqidah dan syariah yang diberlakukan secara total. Hanya dengan jalan itu kehidupan penuh berkah dapat diraih. Allah Swt berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS al-A’raf [7]: 96).
WaLlâh a’lam bi al-shawâb.

Penguasa, Berhati-hatilah

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (al-lawh al-mahfûzh) (QS Yasin [36]: 12).

Ketika kekuasaan dijadikan sebagai orientasi utama dalam hidup, maka berbagai cara pun ditempuh untuk meraihnya. Tak peduli harus menipu, menjilat, memeras, atau bahkan membunuh. Padahal kekuasaan tidak selalu mengantarkan pemegangnya meraih kebahagaian. Betapa banyak penguasa yang nasibnya berakhir tragis. Hartanya disita, kehormatannya hancur, atau hidupnya menderita. Kematiannyapun tidak diiringi tangis kesedihan rakyatnya, namun justru disambut gembira.

Kekuasaan memang ibarat pisau bermata dua. Apabila dijalankan sesuai tuntunan syariah, pemegangnya akan mendapatkan kebahagian. Pemimpin yang adil termasuk di antara tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah ketika tidak ada naungan selainnya (Hadits Muttafaq ‘alayh). Demikian pula jika kekuasaan itu meninggalkan pengaruh kebaikan bagi masyarakat dan generasi berikutnya, pahala yang didapatkan pemegangnya kian berlipat.
Sebaliknya, jika kekuasaan itu hanya digunakan untuk mengejar kesenangan materi, menumpuk harta, dan memuaskan hawa nafsu belaka, maka kecelakaanlah yang didapat. Kekuasaan seperti itu pasti menimbulkan berbagai kerusakan, dengan skala yang luas dan rentang waktu lam. Dosa yang harus ditanggungnya pun bertambah. Ia tidak hanya disiksa karena perbuatan yang dikerjakan, namun juga berbagai pengaruh buruk yang diakibatkan oleh tindakan dan kebijakannya.

Manusia memang tidak hanya dihisab dengan perbuatan yang dikerjakan, namun juga dengan pengaruh yang ditinggalkannya. Ketentuan itu terdapat dalam beberapa ayat dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah Swt dalam QS Yasin [36]: 12

Dicatat Seluruh Amalnya
Dalam ayat tersebut Allah Swt berfirman: Innâ Nahnu Nuhyî al-mawtâ (sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati). Kata Nahnu dalam frasa tersebut memberikan makna li al-hasyr aw li al-taqwiyah (pembatasan atau pengukuhan). Demikian kata al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’ânî. Artinya, hanya Allah Dzat yang menghidupkan manusia ketika telah mati, bukan yang lain. Bisa pula bermakna, manusia yang sudah mati, benar-benar akan dihidupkan kembali oleh Allah Swt.

Banyak kalangan mufassir yang menasfirkan, pengertian Nuhyî al-mawtâ (menghidupkan orang-orang mati) adalah membangkitkan seluruh manusia yang sudah mati di hari kiamat kelak. Banyak sekali ayat dan Hadits yang menegaskan kepastian terjadinya peristiwa ini. Di antaranya adalah al-Taghabun [64]: 7, al-Nahl [16]: 38, al-Mukminun [23]: 16, dan lain-lain.
Berkaitan dengan fase-fase perjalanan hidup manusia itu, Allah Swt berfirman:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونِ
َMengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (TQS al-Baqarah [2]: 28).

Manusia dibangkitkan dari kuburnya untuk mempertanggungkan seluruh perbuatannya semasa di dunia. Siapa yang beriman dan beramal shalih, disediakan baginya surga yang penuh kenikmatan. Sebaliknya, siapa yang kufur dan tidak menggunakan hidupnya untuk beribadah kepada-Nya, dimasukkan ke dalam neraka. Karena nasib manusia ditentukan oleh amal perbuatannya, maka seluruh amal perbuatannya pun dicatat-Nya. Allah Swt berfirman: wa Naktubu mâ qaddamû (Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan).

Kata mâ qaddamû dalam ayat ini berarti semua perbuatan yang telah mereka kerjakan, baik yang terpuji maupun yang tercela, yang shalih maupun yang durhaka. Demikian penjelasan para mufassir, seperti al-Thabari, Ibnu Katsir, al-Baidhawi, al-Baghawi, dan al-Khazin dalam kitab-kitab tafsir mereka. Dalam beberapa ayat, seperti QS al-Infithar [82]: 5, al-Qiyamah [75]: 13, dan al-Hasyr [59]: 18, kata mâ qaddamû juga bermakna amal perbuatan yang telah dikerjakan.
Semua amal perbuatan manusia itu dicatat dengan sangat teliti hingga tak ada yang terlewat. Di hari kiamat, pelakunya akan melihat semua perbuatan yang telah dikerjakan meski perbuatan itu hanya seberat dzarrah (lihat QS al-Zalzalah [99]: 7-8). Allah Swt juga berfirman:
أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لَا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ

Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka (TQS al-Zukhruf [43]: 80).

Dengan demikian tidak ada satu pun manusia yang terdzalimi. Mereka mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka. Oleh karena itu, jika mereka menerima siksa yang pedih, sama sekali bukan karena Allah Swt mendzalimi hamba-Nya. Maha suci dari perbuatan tersebut (lihat QS Ali Imron [3]: 182, al-Anfal [8]: 51). Namun justru manusialah yang mendzalimi diri mereka sendiri.

Dicatat pula Âtsâr-nya
Ayat juga memberi peringatan, bukan hanya amal perbuatannya yang dicatat, namun juga seluruh âtsâr (pengaruh, dampak, atau peninggalan) mereka. Allah Swt berfirman: wa âtsârahum (dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan).
Menurut sebagian mufassir, kata âtsâr bermakna bekas jejak dan langkah kaki, baik yang berjalan untuk ketaatan maupun kemaksiatan. Al-Thabari dalam tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, meriwayatkan beberapa Hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya adalah Hadits yang diriwayatkan Ibnu al-Mutsanna dari Jabir ra. Bahwa Bani Salimah ingin berpindah rumah dekat dengan masjid. Rasulullah saw bersabda kepada kepadanya:
يَا بَنِي سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ إنَّها تُكْتَبْ آثَارُكُمْ
Wahai Bani Bani Salimah, tetaplah di rumahmu. Sesungguhnya bekas jejak kakimu ditulis (HR al-Thabari).
Mufassir lain, seperti al-Syaukani dan al-Alusi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan âtsâr adalah semua kebaikan atau keburukan yang tetap ada setelah ditinggal mati pelakunya. Penafsiran tak jauh berbeda juga dikemukakan al-Samarqandi, al-Khazin, dan al-Baghawi. Mereka menyatakan, âtsârahum adalah semua kebiasaan yang diciptakan, baik yang hasanah (terpuji) maupun yang syay’ah (tercela), kemudian dicontoh orang-orang yang sesudahnya. Penafsiran ini didasarkan pada Hadits Nabi saw:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Barangsiapa yang membuat tradisi dalam Islam sebuah tradisi yang baik (sunnah hasanah), maka dia memperoleh pahala dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang yang menirunya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Dan barang siapa yang membuat tradisi dalam Islam sebuah tradisi yang buruk (sunnah syay’ah), maka dia memperoleh dosa dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang-orang yang menirunya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun (HR Muslim).

Dalam ayat lainnya, al-Quran menegaskan bahwa orang yang menyesatkan orang lain, maka dia juga harus menanggung dosa orang yang disesatkannya itu (lihat QS al-nahl [16]: 25). Orang-orang kafir yang manusia kepada kekufuran, maka dia harus menanggung dosa mereka dan dosa orang-orang yang mengikuti mereka (lihat QS al-Ankabut [29]: 13.

Al-Baidhawi menyodorkan beberapa contoh yang termasuk dalam cakupan âtsâr, yakni ilmu yang diajarkan, harta yang diwakafkan, tersebarnya kebatilan, dan tegaknya kedzaliman. Selain contoh itu, al-Alusi juga menyebutkan beberapa contoh lain. Contoh peninggalan yang baik adalah kitab yang ditulis dan bangunan di jalan Allah. Sementara peningalan yang buruk adalah penetapan undang-undang yang dzalim, penyusunan prinsip-pinsip keburukan dan kerusakan yang berlaku di antara manusia, dan semacamnya. Semua penjelasan para mufassir itu menunjukkan, manusia juga dihisab atas semua peninggalan, dampak, atau pengaruh dari perbuatan yang dikerjakannya.

Ayat ini ditutup dengan firman Allah Swt: Wa kullu syay’[i] ahshaynâhu fî imâm mubîn (dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas). Menurut al-Baghawi, kata ahshaynâhu berarti Kami memelihara, menghitung, dan menjelaskannnya. Sementara menurut kebanyanyakan mufassir --seperti Ibnu Katisr, al-Nasafi, al-Jazairi, al-Khazin, al-Baghawi, al-Baihawi, dan al-Syaukani-- makna imâm mubîn adalah al-lawh al-mahfûzh. Artinya, segala yang ada telah tercantum dalam kitab yang terjaga (al-lawh al-mahfûzh).

Penguasa, Berhati-hatilah

Di antara keistimewaan penguasa adalah pengaruh yang ditimbulkan akibat kebijakannya. Jika seorang rakyat hendak makan, lalu memilih nasi atau babi, maka perbuatan itu hanya berakibat pada dirinya. Berbeda halnya dengan penguasa. Ketika membuat kebijakan, maka dampaknya akan dirasakan seluruh rakyat di negaranya, bahkan di negara lain. Bisa jadi, dampaknya pun tidak hanya dirasakan saat itu, tapi bisa jadi hingga beberapa generasi.
Ketika penguasa membuat undang-undang yang melarang miras, pornografi, atau riba, berbagai perbuatan maksiat itu akan berkurang atau bahkan lenyap dari kehidupan umum. Sebaliknya, jika aneka perbuatan maksiat diizinkan, dipastikan akan marak di dalam kehidupan masyarakat. Ketika itu terjadi, maka dia tidak hanya berdosa atas perbuatan yang dilakukannya, namun karena kegiatan maksiat yang dilakukan oleh orang lain.

Berpijak ayat tersebut, seorang Muslim hanya akan berselera menjadi pemimpin dalam sistem yang menerapkan syariah. Ketika sistemnya bukan syariah, maka di hatinya sama sekali terbetik keinginan untuk menjadi penguasa, kecuali ia mampu mengubahnya menjadi syariah. Sebab, bagaikan kereta, sistem kufur adalah lokomotif yang membawa berbagai gerbong kemaksiatan dan kemungkaran. Gerbong-gerbong yang mengantarkan masinis dan penumpangnya kepada neraka yang penuh siksa. Masih ada yang tertarik?. WaLlâh a’lam bi al-shawâb.

MENUNDA BAYAR UTANG

Ada seseorang yang utang kepada saya. Pada saat jatuh tempo, ia menyatakan belum dapat membayar utangnya. Ia pun berjanji akan melunasi utangnya satu bulan lagi. Meskipun berat hati, akhirnya saya menyetujuinya. Namun pada tanggal yang dijanjikannya, kembali ia menyatakan belum dapat menepati janjinya. Tentu saja saya sangat keberatan. Sebab disamping saya sangat membutuhkan uang tersebut, saya juga menduga sebenarnya dia memiliki --setidaknya barang yang dapat dijual-- untuk membayar utangnya. Pengasuh, saya minta penjelasan hukum Islam berkait dengan permasalahan yang saya alami.

Jawaban:
Utang piutang termasuk jenis muamalah yang diperbolehkan secara syara’i. Bahkan kepada orang yang membutuhkan, hukum memberikan utangan adalah sunnah. Sebab, itu merupakan bagian perbuatan yang dapat dikatagorikan menolong orang lain yang ditimpa kesulitan. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا, نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ, وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ (رواه مسلم)
"Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin suatu kesempitan dunia, Allah akan melepaskannya dari suatu kesempatan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang yang memberikan kemudahan atas kesukaran seseorang, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat" (HR Muslim).
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa memberikan utangan seorang muslim sebanyak dua kali dihitung sebagai sedekah. Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً
"Tidaklah seorang muslim memberikan utangan kepada seorang muslim lainnya sebanyak dua kali kecuali (dicatat) seperti sedekah sekali"(HR Ibnu Hibban).
Jika kepada orang yang memiliki uang Islam menganjurkan untuk memberikan utangan saudaranya yang sedang membutuhkan, kepada pihak yang diutangi Islam juga memerintahkan agar tidak mengabaikan kewajibannya dalam membayar utangan. Pada saat jatuh tempo yang dijanjikan, ia wajib mebayar utangan. Jika ia mempunyai uang untuk membayar utang, namun ia menunda-nunda pembayaran utangnya, Islam mengkatagorikan sebagai sebuah tindak kedzaliman. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
"Menunda-nunda (pembayaran utang) oleh orang kaya adalah dzalim" (HR al-Bukhari).
Hal ini berbeda jika orang yang berutang itu benar-benar tidak mampu sehingga tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo. Jika tidak memang tidak mempunyai uang, apa yang dapat dibayarkan? Sementara kepemilikian uang itu juga berkaitan dengan rezeki yang siapa pun tidak ada yang mampu memaksa untuk mendapatkannya. Dalam keadaan seperti ini Islam memerintahkan kepada pemberi utang agar bersabar menunggu orang yang berutang kepadanya itu hingga memiliki kelapangan rezeki untuk membayar utangnya. Bahkan Allah SWT berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرًا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Dan jika (orang yang berutang itu) dalam keadaan kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui (QS al-Baqarah: 280).
Berdasarkan ketetapan di atas, orang yang tidak membayar utang dapat dipilah menjadi dua, yakni: (1) orang yang enggan menunaikan kwajibannya membayar utang sekalipun memiliki kemampuan dan (2) orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang. Dalam pandangan syara’ keduanya disikapi berbeda.
Kepada orang yang enggan membayar utang, pemberi utangan dapat memaksa orang tersebut agar mau menunaikan kewajibannya. Dalam hal ini, ia dapat melibatkan peran negara untuk menagih utangnya. Sebab, pada faktanya yang memiliki kekuatan memaksa adalah negara. Namun yang perlu diingat, harta dan keuangan orang itu harus diperiksa terlebih dahulu sehingga dapat diketahui secara jelas apakah benar-benar memiliki kemampuan atau tidak.
Sementara jika orang tersebut benar-benar tidak punya kemampuan, tentu tidak dapat dipaksa membayar. Bagaimana mungkin dapat dipaksa untuk membayar padahal ia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membayar utangnya? Disinilah diperintahkan untuk bersabar. Lalu bagaimana jika orang yang mengutangkan itu juga sangat membutuhkan harta tersebut?
Di dalam Islam ada mekanisme lain berupa zakat. Bagi orang-orang yang terkatagori sebagai gharim, mereka berhak mendapatkan zakat. Dengan zakat otulah ia membayarkan utangnya. Dengan demikian, ini membantu kedua belah pihak. Bagi pengutang kewajibannya membayar utang menjadi tertunaikan. Sementara bagi peberi utangan ia mendapatkan haknya kembali. Hanya saja, dalam negara kapitalisme-sekularisme seperti di sini, mekanisme ini sulit ditempuh. Wallah a’lam bi al-shawab.





ZAKAT HARTA PERDAGANGAN

Saya seorang pedagang. Alhamdulillah, dari hari ke hari, bisnis saya semakin maju dan berkembang. Dalam waktu dekat ini saya ingin membayar zakat untuk harta dagangan saya. Hanya saja, masih banyak hal yang belum jelas tentang seluk-beluk zakat perdagangan. Semisal: Berapa nisabnya, berapa persen harus dibayarkan, kapan harus membayarnya, dan bagaimana cara menghitungnya? Bolehkah yang dibayarkan itu barang dagangannya? Supaya lebih mantap, mohon Ustadz sertakan dalil yang melandasinya. Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih.
Joko Santoso, Surabaya
Jawaban:
Yang dimaksud dengan harta perdagangan adalah semua harta selain uang yang digunakan untuk menjalankan perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan. Dengan demikian, harta perdagangan bisa berupa makanan, pakaian, hewan, barang-barang tambang, tanah, bangunan, barang-barang industri, dan lain-lain yang bisa diperjualbelikan dapat dikatagorikan dalam harta perdagangan.
Para ulama salaf maupun khalaf menyepakati wajibnya mengeluarkan zakat pada harta yang digunakan untuk perdagangan. Di antara dalil yang digunakan adalah hadits yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub. Ia berkata:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Adapun setelah itu, Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari semua yang kami persiapkan untuk jual beli (HR Abu Dawud).
Al-Syafi’i, Ahamad, Abu Ubaid, al-daruquthni, al-Bayhaqi, Abd al-Razzaq, dari Abu Amru bin Hammas dari bapaknya yang berkata: Aku berjualan kulit dan tempat anak panah, kemudian Umar bin al-Khaththab melewati aku, maka Umar ra berkata, “Tunaikanlah shadaqah (zakat) hartamu.” Aku menjawab, “Wahai Amirul Mukmin, sesungguhnya ini hanya kulit.” Beliau berkata, “Nilailah harganya, kemudian keluarkanlah shadaqahnya!” Dalam kitab al-Mughni disebutkan bahwa kisah ini masyhur dan tidak ada seorang pun yang mengingkari sehingga dapat dikatagorikan sebagai ijma’ (Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah I/293-294)
Wajibnya zakat harta perdagangan juga diriwayatkan Umar dari anaknya, dari Ibnu Abbas, dari Hasan, dari Jabir, dari Thawus, dari al-Nakha’iy, dari al-Tsauri, al-Auza’iy, sari al-Syafi’iy, dari Ahmad, dari Abu Ubaid, dari Abu Hanifah, dan lain-lain.
Harta perdagangan itu wajib dibayarkan apabila telah mencapai nishab dan telah berlangsung selama satu tahun (haul). Ada pun jumlah nishabnya, senilai dengan nishab emas atau perak. Nishab emas sebesar 20 dinar atau 85 gram (1 dinar = 4,25 gram), sedangkan perak 200 dirham atau 595 gram (1 dirham = 2,975 gram). Sebagaimana juga zakat emas dan perak, besar harta yang dizakatkan adalah 2,5 persen dari jumlah harta yang diperdagangkan.
Sedangkan untuk menghitungnya, harus dperhatikan modal awal dan harta perdagterakhir setelah berlangsung satu tahun. Apabila modal awalnya ketika dia memulai perdagangan belum mencapai nishab, dan setelah berlangsung satu tahun hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka belum ada kewajiban baginya untuk membayar zakat. Sebab, meskipun jumlah hartanya telah mencapai nishab, namun kepemilikan itu masih belum genap satu tahun (belum haul). Kewajiban membayar zakat baru dikenakan pada tahun berikutnya jika harta yang ada masih mencapai nishab.
Jika di awal perdagangannya hartanya telah mencapai nishab, katakanlah Rp 15 juta, setelah genap satu tahun ia memperoleh keuntungan Rp juta sehingga hartanya menjadi Rp 25 juta, maka yang dibayarkan zakatnya adalah 2,5 persen dari harta akhir yang dimiliki tersebut (Rp 25 juta), bukan harta awal (Rp 15 juta). Sehingga yang dikeluarkan zakatnya sebesar Rp 25.000.000 x 2,5% = Rp 625.000. Hal ini karena perkembangan hartanya itu mengikuti modalnya dan haul atas keuntungannya telah tercapai mengikuti haul atas modalnya. Menurut Abd al-Qadim Zallum dalam kitabnya al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, ketetapan ini seperti kambing yang melahirkan anak-anaknya. Jadi dihitung bersama-sama dan dikeluarkan zakatnya, karena haul anaknya mengikuti haul induknya.
Mengenai harta yang dibayarkan, boleh dalam bentuk mata uang yang berlaku. Diperbolehkan pula dalam bentuk barang atau komoditas yang diperdagangkannya. Kalau yang diperdagangkan kain, buku, komputer, atau mobil, maka diperbolehkan membayarkan zakatnya dengan harta yang diperdagangkan itu.
Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga jelas dan dapat dipahami. Wallah a’lam bi al-shawab.