Minggu, 08 Juli 2007

Islam, Solusi Atasi Keterpurukan

QS al-Rum[30]: 41
Rokhmat S. Labib, M.E.I.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS al-Rum[30]: 41).

Kekayaan alam melimpah di Indonesia sungguh melimpah. Hutannya yang amat luas, dipenuhi dengan aneka satwa dan fauna. Tanahnya subur, alamnya indah. Di dalam perut buminya tersimpan berbagai tambang berharga. Kendati begitu, kehidupan sebagian besar warganya jauh dari sejahtera. Kriris tak hanya melanda sektor ekonomi, namun hampir semua sektor kehidupan. Kondisi politiknya carut-marut, pendidikannya terpuruk, moralitasnya bobrok, pertahanannya rapuh, dan kriminalitasnya kian merajalela.

Berbagai upaya sebenarnya telah ditempuh. Pergantian rezim juga sudah dilakukan berkali-kali. Di awal kekuasaanya, semua rezim itu juga selalu menjanjikan perubahan. Namun realisasinya selalu jauh dari kenyataan. Akhir semua rezim itu selalu bernasib sama: gagal! Sementara rakyat tetap menderita, berbagai masalah yang terus menghempas tak pernah tertuntaskan. Bahkan, kian hari nasibnya kian mencemaskan.

Realitas itu tentulah menimbulkan pertanyaan: Mengapa semua itu bisa terjadi? Apa penyebabnya? Apa pula solusinya? Sebenarnya umat Islam kita tak perlu susah mencari jawabannya. Sebab, di dalam al-Quran dan al-Sunnah telah tersedia jawabannya. Firman Allah dalam QS al-Rum [30]: 41 adalah salah satunya.

Kerusakan dan Penyebabnya

Dalam ayat itu Allah Swt berfirman: Dhahara al-fasâd fî al-barr wa al-bahr (telah nampak kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab, kata al-fasâd kebalikan dari al-shalâh (kebaikan). Sehingga, segala sesuatu yang tidak terkagori sebagai kebaikan, dapat dimasukkan ke dalam al-fasâd.

Berkait dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para mufassir pun berusaha mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Wahidi dalam al-Wasîth menyatakan, fasâd adalah kemarau panjang dan lenyapnya berkah. Menurut al-Zamakhsyari dan al-Alusi dalam kitab tafsir mereka, selain dua kondisi itu, fasâd juga berupa minimnya hasil panen dalam pertanian, sedikitnya keuntungan dalam perdagangan, banyaknya kematian pada manusia dan hewan, banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam, kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat, dan banyaknya mudharat.

Jika kita cermati, penjelasan para mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Alusi dalam Rûh al-Ma'ânî dan al-Suyuthi dalam Fath al-Qadîr, huruf al-alif wa al-lâm pada kata al-fasâd itu menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Sehingga kata tersebut memberikan makna umum meliputi semua jenis kerusakan. Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moralitas, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.

Pula kata al-barr dan kata al-bahr. Bentuk ma'rifah pada kedua kata itu memberikan makna umum, yang berarti semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian: telah nampak dengan jelas semua jenis kerusakan di seluruh muka bumi, baik di daratan maupun lautan.

Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada pangkal penyebabnya. Menurut ayat ini, pangkal penyebabnya adalah: bimâ kasabat aydî al-nâs (disebabkan karena perbuatan tangan manusia). Al-Zamaksyari, Ibnu Katsir, al-Alusi, Ibnu Athiyah, al-Nasafi, Abu Hayyan, al-Samarqandi, dan para mufassir lain sepakat, makna kata kasabat aydî al-nâs adalah perbuatan maksiat dan dosa. Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan terhadap ketentuan syariah-Nya. Bahkan, dhahirnya ayat ini menunjukkan, penyebab semua kerusakan di bumi ini dapat dikembalikan kepada kemaksiatan dan kejahatan manusia.
Kenyataan ini juga ditegaskan dalam ayat lain:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS al-Syura [42]: 31).

Dalam bentuk yang spesifik, Nabi saw juga menjelaskan, maraknya zina dan riba bisa menjadi penyebab kehancuran masyarakat. Rasulullah saw bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah(HR al-Thabarani dan al-Hakim).

Oleh karena kekufuran, kemaskiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya kerusakan, tidak jarang dalam al-Quran menyebut semua tindakan itu dengan kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS al-Baqarah [2]: 11 misalnya, dipahami sebagai larangan berlaku kufur, syirik, dan maksiat.

Syariah Sebagai Solusi

Kerusakan yang ditimbulkan akibat tindakan maksiat dan dosa merupakan sunnatullah yang abadi. Allah Swt berfirman: liyudhîqahum ba'dha al-ladzî 'amilû (supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari [akibat] perbuatan mereka). Frasa ini menegaskan, bagi siapa pun yang melakukan kemaksiatan, mereka akan merasakan akibat buruknya. Akibat buruk itu betapa pun dahsyatnya, sesungguhnya baru sebagian. Sebab, kata ba'dha al-ladzî 'amilû menunjukkan, azab yang mereka rasakan saat ini baru sebagian. Azab secara keseluruhan akan ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.

Karena itu, kerusakan yang kasat mata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk bertaubat. Allah Swt: la'allahum yarji'ûna (agar mereka kembali [ke jalan yang benar]). Kata yarji'ûna berarti bertaubat dengan cara meninggalkan kemaksiatan dan perbuatan dosa untuk kembali taat kepada segala ketentuan syariah-Nya.

Frasa penutup ayat ini juga mengisyaratkan, solusi satu-satunya agar kerusakan di muka bumi tidak berkelanjutan adalah kembali kepada syariah-Nya. Karena pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dan dosa, maka untuk menghentikannya pun dengan cara berhenti dari maksiat, selanjutny berjalan sesuai dengan tuntunan syariah. Selama kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa berhenti.

Berhenti dari maksiat dan kembali kepada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika belum total, berarti masih ruang bagi mereka dalam maksiat. Patut ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur totalitas aspek kehidupan manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]: 3). Syariah mengatur seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya; maupun sesamanya. Syariah tak hanya berupa hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak; namun juga sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib diterapkan. Menelantarkan hukum-hukum itu, seluruhnya atau sebagian, termasuk dalam maksiat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Bertolak dari paradigma ayat ini, problema yang mendera negeri dapat diurai. Bahwa semua problema itu sesungguhnya hanya akibat. Pangkal penyebabnya adalah penyimpangan dari syariah. Realitas ini dapat dirunut dengan mudah mulai dari tatanan yang berlaku di negeri ini.
Sekalipun mayoritas berpenduduk muslim, tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri ini adalah sistem sekular. Dalam sistem sekular, Islam direduksi dengan hanya diizinkan mengatur urusan privat, seperti ibadah, makanan, dan akhlak. Sementara dalam urusan sosial, masyarakat, dan negara, syariah Islam tidak boleh campur tangan. Kalaupun diperbolehkan, yang diambil hanya nilai-nilainya, bukan sistemnya. Itu pun baru boleh diambil jika mendapatkan restu dari parlemen.

Sebagai akibat sistem sekular ini, banyak ketentuan syariah yang telantar. Ironisnya, tatanan hukum dari Barat yang kufur justru banyak diadopsi. Maka lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik. Tindakan itu jelas merupakan kemaksiatan. Wajarlah jika realitas ini kemudian melahirkan aneka persoalan.
Sebagaimana ditegaskan dalam ayat ini, hanya ada satu solusinya: mengganti sistem sekular yang kufur dengan sistem Islam yang haq. Jika soslusi itu ditempuh, kerusakan akan lenyap, berganti dengan kehidupan penuh berkah. Allah Swt berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A'raf [7]: 96).
Nyatalah, kegagalan, keterpurukan, dan kebangkrutan negeri ini tak bisa diatasi hanya sekadar mengganti rezimnya, namun juga sistemnya secara total! WaLlâh a'lam bi al-shawâb.