Minggu, 08 Juli 2007

MENUNDA BAYAR UTANG

Ada seseorang yang utang kepada saya. Pada saat jatuh tempo, ia menyatakan belum dapat membayar utangnya. Ia pun berjanji akan melunasi utangnya satu bulan lagi. Meskipun berat hati, akhirnya saya menyetujuinya. Namun pada tanggal yang dijanjikannya, kembali ia menyatakan belum dapat menepati janjinya. Tentu saja saya sangat keberatan. Sebab disamping saya sangat membutuhkan uang tersebut, saya juga menduga sebenarnya dia memiliki --setidaknya barang yang dapat dijual-- untuk membayar utangnya. Pengasuh, saya minta penjelasan hukum Islam berkait dengan permasalahan yang saya alami.

Jawaban:
Utang piutang termasuk jenis muamalah yang diperbolehkan secara syara’i. Bahkan kepada orang yang membutuhkan, hukum memberikan utangan adalah sunnah. Sebab, itu merupakan bagian perbuatan yang dapat dikatagorikan menolong orang lain yang ditimpa kesulitan. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا, نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ, وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ (رواه مسلم)
"Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin suatu kesempitan dunia, Allah akan melepaskannya dari suatu kesempatan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang yang memberikan kemudahan atas kesukaran seseorang, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat" (HR Muslim).
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa memberikan utangan seorang muslim sebanyak dua kali dihitung sebagai sedekah. Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً
"Tidaklah seorang muslim memberikan utangan kepada seorang muslim lainnya sebanyak dua kali kecuali (dicatat) seperti sedekah sekali"(HR Ibnu Hibban).
Jika kepada orang yang memiliki uang Islam menganjurkan untuk memberikan utangan saudaranya yang sedang membutuhkan, kepada pihak yang diutangi Islam juga memerintahkan agar tidak mengabaikan kewajibannya dalam membayar utangan. Pada saat jatuh tempo yang dijanjikan, ia wajib mebayar utangan. Jika ia mempunyai uang untuk membayar utang, namun ia menunda-nunda pembayaran utangnya, Islam mengkatagorikan sebagai sebuah tindak kedzaliman. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
"Menunda-nunda (pembayaran utang) oleh orang kaya adalah dzalim" (HR al-Bukhari).
Hal ini berbeda jika orang yang berutang itu benar-benar tidak mampu sehingga tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo. Jika tidak memang tidak mempunyai uang, apa yang dapat dibayarkan? Sementara kepemilikian uang itu juga berkaitan dengan rezeki yang siapa pun tidak ada yang mampu memaksa untuk mendapatkannya. Dalam keadaan seperti ini Islam memerintahkan kepada pemberi utang agar bersabar menunggu orang yang berutang kepadanya itu hingga memiliki kelapangan rezeki untuk membayar utangnya. Bahkan Allah SWT berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرًا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Dan jika (orang yang berutang itu) dalam keadaan kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui (QS al-Baqarah: 280).
Berdasarkan ketetapan di atas, orang yang tidak membayar utang dapat dipilah menjadi dua, yakni: (1) orang yang enggan menunaikan kwajibannya membayar utang sekalipun memiliki kemampuan dan (2) orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang. Dalam pandangan syara’ keduanya disikapi berbeda.
Kepada orang yang enggan membayar utang, pemberi utangan dapat memaksa orang tersebut agar mau menunaikan kewajibannya. Dalam hal ini, ia dapat melibatkan peran negara untuk menagih utangnya. Sebab, pada faktanya yang memiliki kekuatan memaksa adalah negara. Namun yang perlu diingat, harta dan keuangan orang itu harus diperiksa terlebih dahulu sehingga dapat diketahui secara jelas apakah benar-benar memiliki kemampuan atau tidak.
Sementara jika orang tersebut benar-benar tidak punya kemampuan, tentu tidak dapat dipaksa membayar. Bagaimana mungkin dapat dipaksa untuk membayar padahal ia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membayar utangnya? Disinilah diperintahkan untuk bersabar. Lalu bagaimana jika orang yang mengutangkan itu juga sangat membutuhkan harta tersebut?
Di dalam Islam ada mekanisme lain berupa zakat. Bagi orang-orang yang terkatagori sebagai gharim, mereka berhak mendapatkan zakat. Dengan zakat otulah ia membayarkan utangnya. Dengan demikian, ini membantu kedua belah pihak. Bagi pengutang kewajibannya membayar utang menjadi tertunaikan. Sementara bagi peberi utangan ia mendapatkan haknya kembali. Hanya saja, dalam negara kapitalisme-sekularisme seperti di sini, mekanisme ini sulit ditempuh. Wallah a’lam bi al-shawab.